Donderdag 31 Oktober 2013

ta'arudl, tarjih jam'u wat taufiq

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar dalam memahami dan mengeluarkan hukum-hukum syara’ baik dalam Al-Qur’an maupun Assunnah, sedangkan qowaid fiqhiyah adalah kaidah-kaidah (yang bersifat) umum (Kulli) yang mengelompokkan masalah-masalah fiqh terperinci menjadi beberapa kelompok, adalah merupaka pedoman yang memudahkan menyimpulkan hukum bagi sesuatu masalah. Mengingat pentingnya agar terhindar dari kesalahan dalam menetapkan hukum syara’ baik yang digali dalam Al-Qur’an dan As Sunnah maupun  dalam menetapkan hukum-hukum terhadap masala-masalah batru yang tidak terdapat ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Makalah ini dapat dengan mudah dipahami. Dengan harapan semoga bermanfaat bagi kita.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ta’arudh dan tarjih ?
2.      Apa pengertian Al-Jam’u wat Taufiq ?
3.      Apa pengertian Nasakh ?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui tentang Ta’arudl dan Tarjih.
2.      Untuk mengetahui tentang Al-Jam’u wat Taufiq.
3.      Untuk mengetahui tentang Nasakh.





BAB II
PEMBAHASAN
A.                TA’ARUDH DAN TARJIH
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu. [1]
Tarjih adalah memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan dengan adanya tanda meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih kuat dari dalil yang lainnya.
Contoh dalil yang berlawanan :
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا (البقرة : 234)
orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari....”
Ayat diatas memberi petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya meninggal, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut hamil atau tidak hamil. Namun, jika dilihat dalam firman Allah pada surat At-Thalaq ayat 4 :
واولات الاحما ل اجلهن ان يضعن جملهن ...
dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.

Jika dilihat sepintas kilas dalam ayat pertama perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal iddahnya empat bulan sepuluh hari dan menurut ayat yang kedua nash ini berlawanan kalau diterangkan pada kasus yang sama, yang ini dinamakan ta’arudh.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak akan terjadi berlawanan yang sebenarnya antara dua ayat diatas atau dua buah hadits shahih. Jika nampak berlawanan, itu hanya lahirnya saja.Allah yang Maha Bijaksana tidak akan menetapkan dua hokum yang berlawanan. Jika terdapat dua nash yang lahirnya bertentangan maka harus berijtihad untuk  mengalihkan keduanya dari makna lahir.
Diantara cara mengkompromikan dua nash tersebut ang berlawanan adalah dengan mentakwilkan salah satu nash sehingga tidak kelihatan lagi pertentangan. Dan juga dengan cara menganggap salah satu nash menjadi takhsis nash yang umu atau menjadikan taqyyid yang mutlak. Maka yang khusus atau yang muqayyad  dilaksanakan pada kasus lain dan yang lainnya tetap berlaku umum atau tetap berlaku mutlak.
Jika tidak mungkin memadukan dua nash yang bertentangan, maka diupayakan untuk mentarjih (memenangkan) salah satunya dengan cara-cara tarjih. Jika hasil penelitian menunjukkan kemenangan salah satunya, maka dilaksanakan sesuai dengan tuntutan dalil yang menang. Ini adalah sebagai penjelas, karena dua buah nash itu berbeda dalam tingkatannya. Kadang-kadang tarjih ini diperoleh dari cara-cara petunjuk makna, maka makna yang ditunjukkan oleh ungkapan nash lebih dimenangkan dari pada yang ditunjukkan oleh isyarat  nash.

B.                 JAM’U WAT TAUFIQ[2]
Jam’u wat taufiq adalah mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan, kemudian mengkompromikannya. Karena kaidah ushul mengatakan, “ mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
1.        Contoh sunnah dengan sunnah adalah sabda nabi : “bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian yaitu kesaksian yang diberikan seseorang sebelum diminta menjadi saksi” (HR. Muslim). Kemudian sabda Nabi berikutnya : “sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu itu orang-orang akan memberikan kesaksiannya (didepan hakim), tanpa diminta, sedangkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat, serta tidak dapat dipercaya.”(HR. Bukhori dan Muslim.) dari  kedua hadits ini terlihat bahwa hadits pertama berbicara tentang kasus yang terkain  dengan hak Allah. Sedangkan hadits kedua terkait dengan kasus yang menyangkut hak manusia.
2.        Contoh ayat dengan ayat adalah surat Al-Maidah ayat 3 : “diharamkan bagimu bangkai dan darah”. Disini tidak dijelaskan darah yang bagaimana, sementara dalam ayat 145 surat Al-An’am, Allah mengatakan : “....kecuali (yang diharamkan itu) bangkai darah yang mengalir......” dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat Al-Maidah ayat 3, dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat Al-An’am ayat 145.
C.    NASAKH
Nasakh menurut bahasa adalah membatalkan atau menghapuskan[3]. Nasakh adalah menghapus hukum syar’i dengan dalil syara’ yang datang kemudian. [4]Nasakh menurut istilah adalah membatalkan sesuatu hokum dengan dalil yang akan dating kemudian. Yang dihapus atau dibatalkan dinamakan mansukh. Sedang yang membatalkan disebut nasikh.
Adapun Syarat-syarat nasakh yang disepakati antara lain :
1.        Nasikh harus terpisah dari mansukh
2.        Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh.
3.        Nasikh harus berupa dalil dalil syara’
4.        Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.
5.        Mansukh harus hukum-hukum syara’.
Tidak semua nash-nash Al-Qur’an dan Hadits dapat dinaskh. Ada nash-nash yang sudah pasti dan tidak bias dinaskh sama sekali, yaitu :
a.         Nash-nash yang berisi hokum pokok, baik yang berhubungan dengan kepercayaan dan pokok ibadah, atau yang berhubungan dengan pokok-pokok ketentuan, seperti adil, kejujuran, dan lain-lain, atau yang melarang perbuatan-perbuatan yang hina seperti mempersekutukan Tuhan, membunuh, mencuri, dan lain-lain.
b.        Nash- nash yang berisi hokum-hukum yang abadi, seperti firman Allah : “jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”(QS. An Nur : 4)
c.         Nash-nash yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian yang lewat ataupun yang akan dating seperti peristiwa Musa dengan Firaun, akan datangnya kiamat dan lain-lain.
Sedang syarat-syarat yang belum disepakati, antara lain :
1.    Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
2.    Adanya hokum baru sebagai penggnti hokum yang dibatalkan
3.    Hokum pengganti lebih berat dari pada hokum yang dibatalkan.
Macam-macam nasakh, antara lain :[5]
a.    Naskhur Rosmi wa baqo’ul hukum. Misalnya ayat :” orang yang sudah tua baik laki-laki atau perempuan, apabila melakukan perzinaan, rajamlah keduanya;tidak boleh tidak”. Ayat tersebut tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya masih tetap, sebab sesudah itu nabi merajam orang yang melakukan zina mukhson.
b.    Naskhul hukmi wa baqo’ur rosmi. Contoh :”istri yang ditinggal mati oleh suami, iddahnya satu tahun (Al-Baqoroh:240), kemudian masa iddah itu dinasakh oleh ayat lain “bahwa istri yang ditinggal mati oleh suami, iddahnya 4 bulan 10 hari”(Al-Baqoroh:234)”
c.    Naskhul amroini ma’an(dinasakh bacaan beserta hukumnya sekaligus).  Contoh : hadits Nabi “menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) 10 kali menyusui yang diketahui itu menjadikan haram (mahrom).kemudian dinasakh dengan 5 kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram (mahrom)”.
d.   Naskhus sunnah bilkitab. Seperti hadits Nabi tentang sholat berkiblat ke baitul maqdis (selama 16 bulan) dinasakh oleh firman Allah, “maka hadapkanlah wajahmu (dalam sholat) ke arah masjid Al-Haram” (Al-Baqoroh :144)
e.    Naskhus sunnah bissunnah. Seperti penjelasan hadits “ aku telah melarang kamu menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kubur itu”
Jadi, yang asalnya tidak boleh, tetapi kemudian dibolehkan.
f.     Nasakh Al-Qur’an dengan As sunnah. Seperti penjelasan Al-Qur’an bahwa berwasiat atas ibu bapak dan kerabat sebagai ahli waris diwajibkan, tetapi hadits nabi menasakh kewajiban wasiat tersebut. Berarti ahli waris tidak berhak menerima wasiat.
g.    Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Contoh ayat Al-Qur;an yang mansukh : “jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh, dan jika ada 200 orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir” (Al-Anfal : 65).
Sebagai ayat penasikhnya : “sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan,  maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh; dan jika diantara kamu ada seribu oramng yang sabar, niscaya dapat mengalahkan dua ribu orang musuh ”. (Al-Anfal : 66)[6]






BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu. Untuk mengatasi hal yang demikian bisa disebut dengan tarjih, yakni memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan dengan adanya tanda meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih kuat dari dalil yang lainnya.
Istilah lain adalah jam’u wat taufiq, jam’u wat taufiq adalah mengumpulkan dua dalil yang bertentangan. Namun dalil tersebut tidak bisa seenaknya digunakan semuanya, karena dalil itu ada yang di nasakh, atau dihapus dengan dalil yang lain.
B.     Saran
Penulis menyerahkan untuk tidak menggunakan makalah ini sebagai acuan yang mutlak karena ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis menyerahkan kepada semua pembaca makalah ini untuk mencari sumber-sumber lain untuk menyempurnakan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA
Ø  Drs.H.A. Safi’i  Karim.1997 Fiqih Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia.
Ø  Dr. H.Nazar Bakry.2003.Fiqih dan Ushul Fiqh.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Ø Muzakky, Aba. 2009. Ushulul Fiqhi wa Qowaidul Fiqhiyyah.Kemantren: Press Muzakky.
Ø Hakim Hamid, Abdul.Mabady Awaliyah.1927.Jakarta:Sa’adiyah Putra.












[1] Drs.H.A. Safi’i  Karim.1997 Fiqih Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia. Hal  244
[2] Dr. H.Nazar Bakry.2003.Fiqih dan Ushul Fiqh.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Hal 255
[3] Karim, Syafi’i.1995.Fiqih Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia. Hal 203
[4] Muzakky, Aba. 2009. Ushulul Fiqhi wa Qowaidil Fiqhiyyah.Kemantren: Press Muzakky. Hal 12
[5] Hakim Hamid, Abdul.Mabady Awaliyah.1927.Jakarta:Sa’adiyah Putra. Hal 12
[6] Muzakky, Aba.2009.Ushul Fiqhi wa Qowaidul  Fiqhiyah.Kemantren:Press Muzakky. Hal 12

KEPEMIMPINAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM





KEPEMIMPINAN LEMBAGA PENDIDIKAN
A.      Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah ilmu yang wajib ada dalam setiap diri manusia karena setiap manusia akan menjadi pemimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri. Dalam lembaga pendidikan islam, ilmu kepemimpinan sangat penting, semua orang yang terlibat dalam lembaga pendidikan islam adalah seorang pemimpin, sebagai contoh dalam suatu sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswperana yang aktif adalah seorang pemimpin..
Kepemimpinan adalah ilmu untuk memerintah orang lain, yang didalam pekerjaannya untuk mencapai tujuan memerlukan bantuan orang lain. Sebagai pemimpin, ia harus mempunyai peranan yang aktif dan senantiasa ikut campur tangan dalam segala permasalahan yang berkenaan dengan kebutuhan anggota kelompoknya.
B.       Fungsi Dari Pemimpim
1.      Memberi kepuasan terhadap kebutuhan para anggotanya, maksudnya pemimpin mengusahakan kenyamanan pada anggota.
2.      Menghilangkan hambatan yang ada dalam pencapaian tujuan.
3.      Menentukan tujuan organisasiyang realistis.
4.      Mengkomunikasikan kepada anggota apa yang harus mereka lakukan/kerjakan.
5.      Mengubah tujuan anggota sehingga tujuan mereka bisa berguna secara organisatoris.dll.
C.      Gaya Kepemimpinan
1.      Kepemimpinan Otokratik
Gaya kepemimpinan ini mutlak segala keputusan ada pada satu orang, gaya kepemimpinan ini sering menjadikan anggota menjadi tidak nyaman karena tidak mempunyai hak berupa peluang untuk membuat keputusan.
2.      Kepemimpinan Demokratif
Yaitu kepemimpinan berdasarkan demiktratis, dalam arti bukan dipilihnya pemimpin itu secara demokratis saja, melainkan cara yang dilaksanakan sipemimpin yang demokratis, artinya kebijakan apapun itu diambil secara musyawaroh.
3.      Kepemimpinan Bebas
Kepemimpinan seperti ini adalah kepemimpinan yang menjadikan pemimpin sebagai penonton yang bersifat pasif.
D.      Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan
1.      Kecerdasan. Seorang pemimpin seharusnya mempunyai kecerdasan lebih dari para angotanya.
2.      Kematangan keluasan sosial. Seorang pemimpin biasanya memiliki emosi yang stabil, matang, memiliki aktifitas dan dorongan untuk mencapai suatu tujuan.
3.      Motifasi dalam dan dorongan prestasi. Dalam siri seorang pemimpin harus mempunyai motifasi dan dorongan untuk mencapai tujuan tetentu.
4.      Hubungan manusia. Memimpin harus bisa mengenali dan menghargai para anggotanya.