BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar dalam
memahami dan mengeluarkan hukum-hukum syara’ baik dalam Al-Qur’an maupun
Assunnah, sedangkan qowaid fiqhiyah adalah kaidah-kaidah (yang bersifat) umum
(Kulli) yang mengelompokkan masalah-masalah fiqh terperinci menjadi beberapa
kelompok, adalah merupaka pedoman yang memudahkan menyimpulkan hukum bagi
sesuatu masalah. Mengingat pentingnya agar terhindar dari kesalahan dalam
menetapkan hukum syara’ baik yang digali dalam Al-Qur’an dan As Sunnah
maupun dalam menetapkan hukum-hukum
terhadap masala-masalah batru yang tidak terdapat ketetapan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan Assunnah. Makalah ini dapat dengan mudah dipahami. Dengan harapan
semoga bermanfaat bagi kita.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian Ta’arudh dan tarjih ?
2.
Apa
pengertian Al-Jam’u wat Taufiq ?
3.
Apa
pengertian Nasakh ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui tentang Ta’arudl dan Tarjih.
2.
Untuk
mengetahui tentang Al-Jam’u wat Taufiq.
3.
Untuk
mengetahui tentang Nasakh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TA’ARUDH DAN TARJIH
Ta’arudh
menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut
arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan
tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu. [1]
Tarjih
adalah memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan dengan
adanya tanda meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih kuat dari dalil
yang lainnya.
Contoh
dalil yang berlawanan :
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا
(البقرة : 234)
“orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari....”
Ayat
diatas memberi petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya
meninggal, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut hamil atau
tidak hamil. Namun, jika dilihat dalam firman Allah pada surat At-Thalaq ayat 4
:
واولات الاحما ل اجلهن ان يضعن جملهن ...
“dan perempuan-perempuan yang hamil
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
Jika dilihat sepintas kilas dalam ayat
pertama perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal iddahnya
empat bulan sepuluh hari dan menurut ayat yang kedua nash ini berlawanan kalau
diterangkan pada kasus yang sama, yang ini dinamakan ta’arudh.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak
akan terjadi berlawanan yang sebenarnya antara dua ayat diatas atau dua buah
hadits shahih. Jika nampak berlawanan, itu hanya lahirnya saja.Allah yang Maha
Bijaksana tidak akan menetapkan dua hokum yang berlawanan. Jika terdapat dua
nash yang lahirnya bertentangan maka harus berijtihad untuk mengalihkan keduanya dari makna lahir.
Diantara cara mengkompromikan dua nash
tersebut ang berlawanan adalah dengan mentakwilkan salah satu nash sehingga
tidak kelihatan lagi pertentangan. Dan juga dengan cara menganggap salah satu
nash menjadi takhsis nash yang umu atau menjadikan taqyyid yang mutlak.
Maka yang khusus atau yang muqayyad
dilaksanakan pada kasus lain dan yang lainnya tetap berlaku umum atau
tetap berlaku mutlak.
Jika tidak mungkin memadukan dua nash yang
bertentangan, maka diupayakan untuk mentarjih (memenangkan) salah
satunya dengan cara-cara tarjih. Jika hasil penelitian menunjukkan kemenangan salah
satunya, maka dilaksanakan sesuai dengan tuntutan dalil yang menang. Ini adalah
sebagai penjelas, karena dua buah nash itu berbeda dalam tingkatannya.
Kadang-kadang tarjih ini diperoleh dari cara-cara petunjuk makna, maka makna
yang ditunjukkan oleh ungkapan nash lebih dimenangkan dari pada yang ditunjukkan oleh isyarat nash.
B.
JAM’U WAT TAUFIQ[2]
Jam’u wat taufiq adalah mengumpulkan dalil-dalil
yang bertentangan, kemudian mengkompromikannya. Karena kaidah ushul mengatakan,
“ mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan
dalil yang lain”.
1.
Contoh sunnah dengan sunnah adalah sabda nabi :
“bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian yaitu kesaksian
yang diberikan seseorang sebelum diminta menjadi saksi” (HR. Muslim). Kemudian
sabda Nabi berikutnya : “sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian
generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu itu orang-orang
akan memberikan kesaksiannya (didepan hakim), tanpa diminta, sedangkan mereka
tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat, serta tidak dapat dipercaya.”(HR.
Bukhori dan Muslim.) dari kedua hadits
ini terlihat bahwa hadits pertama berbicara tentang kasus yang terkain dengan hak Allah. Sedangkan hadits kedua
terkait dengan kasus yang menyangkut hak manusia.
2.
Contoh ayat dengan ayat adalah surat Al-Maidah ayat
3 : “diharamkan bagimu bangkai dan darah”. Disini tidak dijelaskan darah yang
bagaimana, sementara dalam ayat 145 surat Al-An’am, Allah mengatakan :
“....kecuali (yang diharamkan itu) bangkai darah yang mengalir......” dengan
demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat Al-Maidah ayat 3,
dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat Al-An’am ayat 145.
C.
NASAKH
Nasakh menurut bahasa adalah membatalkan
atau menghapuskan[3].
Nasakh adalah menghapus hukum syar’i dengan dalil syara’ yang
datang kemudian. [4]Nasakh menurut istilah adalah membatalkan
sesuatu hokum dengan dalil yang akan dating kemudian. Yang dihapus atau
dibatalkan dinamakan mansukh. Sedang yang membatalkan disebut nasikh.
Adapun Syarat-syarat nasakh yang disepakati antara
lain :
1.
Nasikh harus terpisah dari mansukh
2.
Nasikh harus lebih kuat atau sama
kekuatannya dengan mansukh.
3.
Nasikh harus berupa dalil dalil syara’
4.
Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu
waktu.
5.
Mansukh harus hukum-hukum syara’.
Tidak semua nash-nash Al-Qur’an dan Hadits dapat
dinaskh. Ada nash-nash yang sudah pasti dan tidak bias dinaskh sama sekali,
yaitu :
a.
Nash-nash yang berisi hokum pokok, baik
yang berhubungan dengan kepercayaan dan pokok ibadah, atau yang berhubungan
dengan pokok-pokok ketentuan, seperti adil, kejujuran, dan lain-lain, atau yang
melarang perbuatan-perbuatan yang hina seperti mempersekutukan Tuhan, membunuh,
mencuri, dan lain-lain.
b.
Nash- nash yang berisi hokum-hukum yang
abadi, seperti firman Allah : “jangan kamu terima persaksian mereka
selamanya”(QS. An Nur : 4)
c.
Nash-nash yang berisi pemberitaan sesuatu
kejadian yang lewat ataupun yang akan dating seperti peristiwa Musa dengan
Firaun, akan datangnya kiamat dan lain-lain.
Sedang syarat-syarat yang belum disepakati,
antara lain :
1. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
2. Adanya hokum baru sebagai penggnti hokum yang dibatalkan
3. Hokum pengganti lebih berat dari pada hokum yang dibatalkan.
Macam-macam
nasakh, antara lain :[5]
a.
Naskhur Rosmi wa baqo’ul hukum. Misalnya ayat :” orang yang sudah tua baik laki-laki atau
perempuan, apabila melakukan perzinaan, rajamlah keduanya;tidak boleh tidak”. Ayat
tersebut tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya masih tetap, sebab sesudah
itu nabi merajam orang yang melakukan zina mukhson.
b.
Naskhul hukmi wa baqo’ur rosmi. Contoh :”istri yang ditinggal mati oleh suami, iddahnya satu
tahun (Al-Baqoroh:240), kemudian masa iddah itu dinasakh oleh ayat lain
“bahwa istri yang ditinggal mati oleh suami, iddahnya 4 bulan 10
hari”(Al-Baqoroh:234)”
c.
Naskhul amroini ma’an(dinasakh bacaan beserta hukumnya sekaligus). Contoh
: hadits Nabi “menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) 10 kali
menyusui yang diketahui itu menjadikan haram (mahrom).kemudian dinasakh
dengan 5 kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram (mahrom)”.
d. Naskhus sunnah bilkitab. Seperti hadits
Nabi tentang sholat berkiblat ke baitul maqdis (selama 16 bulan) dinasakh oleh
firman Allah, “maka hadapkanlah wajahmu (dalam sholat) ke arah masjid Al-Haram”
(Al-Baqoroh :144)
e. Naskhus sunnah bissunnah.
Seperti penjelasan hadits “ aku telah melarang kamu menziarahi kubur, maka
(sekarang) ziarahilah kubur itu”
Jadi, yang asalnya tidak boleh, tetapi kemudian dibolehkan.
f.
Nasakh
Al-Qur’an dengan As sunnah. Seperti penjelasan Al-Qur’an bahwa berwasiat atas
ibu bapak dan kerabat sebagai ahli waris diwajibkan, tetapi hadits nabi
menasakh kewajiban wasiat tersebut. Berarti ahli waris tidak berhak menerima
wasiat.
g.
Nasakh
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Contoh ayat Al-Qur;an yang mansukh : “jika ada
20 orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang
musuh, dan jika ada 200 orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir” (Al-Anfal : 65).
Sebagai
ayat penasikhnya : “sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan,
maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
dapat mengalahkan 200 orang musuh; dan jika diantara kamu ada seribu oramng
yang sabar, niscaya dapat mengalahkan dua ribu orang musuh ”. (Al-Anfal :
66)[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah
pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan
dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya
dilaksanakan dalam satu waktu. Untuk mengatasi hal yang demikian bisa disebut
dengan tarjih, yakni memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang
berlawanan dengan adanya tanda meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih
kuat dari dalil yang lainnya.
Istilah lain adalah jam’u wat
taufiq, jam’u wat taufiq adalah mengumpulkan dua dalil yang bertentangan. Namun
dalil tersebut tidak bisa seenaknya digunakan semuanya, karena dalil itu ada
yang di nasakh, atau dihapus dengan dalil yang lain.
B.
Saran
Penulis menyerahkan untuk tidak menggunakan makalah
ini sebagai acuan yang mutlak karena ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu
penulis menyerahkan kepada semua pembaca makalah ini untuk mencari sumber-sumber
lain untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Drs.H.A. Safi’i
Karim.1997 Fiqih Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia.
Ø Dr. H.Nazar Bakry.2003.Fiqih dan Ushul Fiqh.Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
Ø Muzakky,
Aba. 2009. Ushulul Fiqhi wa Qowaidul Fiqhiyyah.Kemantren: Press Muzakky.
Ø Hakim Hamid,
Abdul.Mabady Awaliyah.1927.Jakarta:Sa’adiyah Putra.
[1] Drs.H.A. Safi’i
Karim.1997 Fiqih Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia. Hal 244
[2] Dr. H.Nazar Bakry.2003.Fiqih dan Ushul Fiqh.Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada. Hal 255
[3] Karim,
Syafi’i.1995.Fiqih Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia. Hal 203
[4] Muzakky, Aba.
2009. Ushulul Fiqhi wa Qowaidil Fiqhiyyah.Kemantren: Press Muzakky. Hal
12
[6] Muzakky,
Aba.2009.Ushul Fiqhi wa Qowaidul
Fiqhiyah.Kemantren:Press Muzakky. Hal 12